April 22, 2007

|+ Judul : Nikah Cepat Atau Nikah Tepat ?

Judul : Nikah Cepat Atau Nikah Tepat ?

Adapun doa untuk cepat dapat jodoh,
saya belum menemukannya. Yang saya
ketahui adalah doa untuk mendapatkan
jodoh yang tepat, bukan yang cepat
secara waktu.
---------------------------------------------->>
selengkapnya klik link dibawah ini :
http://www.cybermq.com/cybermq/detail_kolom.php?id=214&noid=3

|+shalat Jumat ato maen bola

Ketika kita mengamati judul di atas, maka
sepintas dua hal tersebut
tidak ada kaitan dan hubungan sama sekali.
Yang pertama yaitu shalat
Jum'at, merupakan sebuah amalan yang utama
di dalam Islam dan masuk dalam
lingkup syari'at dan ibadah, sedangkan
satunya lagi adalah sebuah bentuk
permainan atau cabang olah raga
yang bersifat keduniaan dan tidak ada
sama sekali kaitannya dengan syari'at.
Namun, sungguh untuk saat ini
dua-duanya mempunyai kaitan, jika sepak bola itu dilakukan
atau ditayangkan siarannya bertepatan dengan
pelaksanaan shalat Jum’at.
Tentang perintah untuk menegak kan shalat Jum'at,
maka al-Qur'an telah
menjelaskan dengan surat yang senama dengan hari
itu, “al-Jumu'ah.”
Di antara ayatnya yaitu, 
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat
pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu
mengetahui." (QS. 62:9) 
 
Berjual beli adalah salah satu bentuk mata
pencaharian seseorang untuk
menafkahi keluarganya dan memenuhi
kebutuhannya,
dan hal itu merupakan
kewajiban. Namun walau demikian, dia
diperintahkan oleh Allah subhanahu
wata’ala untuk ditinggalkan,
manakala adzan Jum'at telah
dikumandangkan. Sehingga berdasarkan
ini para ulama menyatakan haram berjual beli
setelah dikumandangkan adzan Jum'at.
Dan penyebutan jual beli di sini
bukan sebagai pembatasan, namun sekedar
contoh karena pada umumnya
pekerjaan masyarakat Arab ketika
itu adalah berdagang. Maka dengan demikian
segala bentuk pekerjaan, tugas dan
aktivitas apa saja wajib untuk
ditinggalkan jika telah ada panggilan shalat
Jum'at. Karena tidak ada
keuntungan dengan cara meninggalkan dzikrullah,
dan shalat Jumâat adalah
salah satu bentuk dzikrullah. 
Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya
kamu beruntung. (Qs 62:10). 
 
Jual beli dan pekerjaan lainnya yang
halal dalam rangka mencari nafkah
adalah hal yang baik, namun kata Allah
meninggalkan itu semua demi
mendatangi Jum'at adalah lebih baik lagi.
Dan di dalam ayat itu, Allah
subhanahu wata’ala telah mengaitkan
antara dzikrullah dengan
keberuntungan. Inilah penjelasan dari Rabb
yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang
Maha Tahu seluk beluk kebaikan dan
kemaslahatan manusia. Maka seorang
Muslim wajib untuk taat dan patuh
kepada seruan Allah. Karena seorang
mukmin selalu ingat jaminan Allah berupa, 
œKatakanlah, "Apa yang di sisi
Allah adalah lebih baik daripada
permainan dan perniagaan", dan Allah
sebaik-baik Pemberi rezki. (QS.
62:11) 
 
Allah subhanahu wata'alaala-lah sebaik-baik
pemberi rizki! Tidak ada
makhluk yang melata di muka bumi ini, kecuali
menjadi tanggungan Allah
rizkinya. Bagaimana tidak, sedangkan seluruh
yang ada di langit dan bumi
adalah ciptaan dan milik Allah. Kalau ada
orang memperoleh makanan maka
makanan tersebut didapat dari bumi ciptaan
Allah. Kalau ada orang
mendapatkan emas dan perak, maka emas
dan perak itu dari perut bumi, belum
lagi oksigen, air, panas matahari dan
seabrek kenikmatan yang tidak
mungkin kita menghitungnya. Intinya bahwa
seluruh kenikmatan dan sarana
yang ada di dunia ini adalah kenikmatan dan
rizki dari Allah subhanahu
wata’ala meskipun sebagiannya diolah dan
dibikin oleh tangan manusia.
 
Memang ada sebagian orang yang mengatakan,
bahwa dia justru mendapatkan
untung lebih dengan meninggalkan Jum'at,
karena dari hitungan matematis
sudah jelas, dan dia tidak kehilangan
waktu produktif. Bagi yang
berpikir picik mungkin akan membenarkan
pendapat ini, namun seorang mukmin
pikirannya jauh dan luas. Dia
tidak memandang
sekedar yang ada di depan
mata, yang tampak secara materi
(faham materialis). Dia punya prinsip
iman bilghaib, percaya terhadap yang
ghaib, yakni segala apa yang ada di
sisi Allah yang disebut oleh Allah
lebih baik daripada sekedar
permainan dan perniagaan. 
 
Sepak Bola dan Shalat Jum'at 
 
Yang akan kita bicarakan di sini adalah
sebuah fenomena yang terjadi di
tengah ummat Islam, manakala sedang ada
pertandingan sepak bola atau
siaran langsung sepak bola di dalam
televisi bertepatan dengan waktu
shalat Jum'at. 
 
Sebagaimana dimaklumi bahwa masyarakat
penggemar bola di dunia ini
jumlahnya mencapai berjuta-juta orang.
Demikian pula penggemar sepak bola
dari kalangan kaum muslimin juga amat banyak,
tidak sebanding dengan
jumlah jama'ah shalat Subuh di
kebanyakan masjid kaum muslimin.
 
Berkenaan dengan kaum muslimin yang
memadati tribun-tribun stadion atau
asyik di depan televisi untuk menyaksikan
pertandingan sepak bola, yang
bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jum'at,
maka Syaikh Masyhur Salman
menyebut mereka sebagai orang yang lemah
akalnya dan mati nalurinya.
Hanya untuk fanatik sebuah klub
dan cabang olah raga dia rela
meninggalkan shalat Jum'at.
(al-Muhkam al- Matin, hal 137)
 
Selanjutnya di dalam buku yang sama
beliau mengatakan, "Yang ini
membela salah satu klub dan lainnnya
membela klub yang yang lain, bahkan
mereka yang tinggal satu rumah atau
sekeluarga masing-masing punya klub
andalan sendiri-sendiri. Terkadang
urusannya bukan sekedar menjagokan dan
meberi support saja, namun hingga
pada tingkat saling mengejek dan
merendahkan klub lawannya. Maka
sebagaimana yang kita saksikan, bahwa
terkadang pertandingan itu diakhiri
dengan aksi perkelahian dan bentrokan
fisik antar supporter sehingga jatuh
korban luka dan tewas dari kedua
belah pihak. 
 
Itulah harga yang harus dibayar oleh
ummat Islam demi sepak bola.
Mereka telah meninggalkan shalat Jum'at,
di samping juga kehilangan
kesempatan untuk memikirkan bagaimana
cara menghadapi musuh-musuh Islam dan
membicarakan masalah-masalah lain yang
lebih penting dan lebih besar.
Ummat Islam juga harus membayar dengan
hilangnya makna Izzah dan kemuliaan
ummat. Mereka telah bersusah payah
mengeluarkan harta yang banyak, dan
membuang-buang waktu yang tidak sedikit,
demi sebuah kefanatikan
terhadap satu cabang olah raga. 
 
Jika ummat Islam menggunakan waktu dan
biaya yang besar itu untuk
hal-hal yang membawa manfaat bagi ummat,
atau untuk karya-karya yang
memberikan faidah, maka ummat ini akan
menjadi lebih maju di dalam segala
bidang kehidupan. 
 
Yang lebih menyedihkan lagi adalah
berubahnya sudut pandang kaum
muslimin, yakni menurut mereka yang
namanya pahlawan di masa ini adalah para
pemain sepak bola, bukan orang yang
berjuang dan berusaha menjunjung
tinggi kemuliaan dan kebesaran ummat.
Sebagai konsekuensinya, maka ummat
tak segan-segan mengeluarkan biaya
besar untuk para pemain sepak bola.
Sedangkan Islam tidak membolehkan
bersikap terbalik dalam memandang
suatu masalah, namun menjelaskan
bahwa setiap manusia harus disikapi
secara proporsional tidak berlebihan
(ifrath) dan tidak menyepelekan
(tafrith). 
 
Intinya adalah bahwa sepak bola
pada masa ini telah digunakan oleh
musuh-musuh Islam sebagai salah satu
sarana untuk menghancurkan ummat, dan
mereka terus mempropagandakan serta
mebesar-besarkan hal tersebut
dengan sangat bombastis.
(al-Muhkam al-Matin, hal 138)
 
Saatnya Harus Bersikap 
 
Seorang muslim dituntut bersikap
adil dan proporsional, menempatkan
sesuatu pada tempatnya, menganggap
penting masalah yang penting dan
menganggap besar sesuatu yang besar.
Dan terkait dengan sepak bola, maka hal
tersebut pada dasarnya adalah mubah(boleh)
jika dilakukan dalam batasan
yang wajar dan tidak ada sisi negatif
serta kerusakan yang ditimbulkan
olehnya. Akan tetapi persoalannya berbeda
jika telah menyebabkan
seseorang meninggalkan Jum'at dan shalat
berjama'ah, meninggalkan
urusan-urusan yang hukumnya wajib
dan urusan penting lainnya.
 
Jika jual beli, berdagang, bekerja
dan mencari nafkah harus
ditinggalkan, apabila telah
dikumandangakan adzan
Jum'at, padahal mencari nafkah
dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan
adalah kewajiban, maka bagaimana
dengan sepak bola yang bukan apa-apa,
bukan kewajiban dan bukan pula
anjuran dalam agama? Coba marilah kita
sedikit merenung tentang sepak bola;
Apakan masyarakat menjadi cerdas dengan
sepak bola? Apakah sepak bola
mendatangkan rahmat dan ampunan Allah?
Apakah sepak bola dapat
mengangkat akhlak dan budi pekerti manusia?
Apakah dengan sepak bola Islam
menjadi mulia dan ilmu tersebar? Kita
semua tentu sepakat menjawab tidak.
Jika demikian apakah layak seorang muslim
membela mati-matian sepak bola
dengan meninggalkan shalat Jum'at dan
berjama'ah di masjid?
 
Syaikh Masyhur Salman juga menyebutkan
sebuah dokumen panduan rahasia
zionis ke tiga belas yang isinya, 
"Agar masyarakat terus dalam kesesatan
serta tidak tahu apa yang ada di
depannya dan apa yang di belakangnya,
tidak tahu apa yang diinginkan,
maka kita akan melakukan peningkatan
untuk memalingkan pikiran mereka,
dengan cara membuat berbagai media
yang hebat dan bersifat menghibur,
serta permainan-permainan yang
menggembirakan lagi menakjubkan.
Juga ....
dengan berbagai bentuk olah raga,
permainan dan apa saja yang menjadi
santapan bagi kesenangan dan syahwat
hawa nafsu. Juga memperbanyak gedung
dan istana yang megah serta rumah-rumah
yang dihiasi dengan sangat mewah.
Lalu kita jadikan pers dan media masa
saling mengajak untuk
berlomba-lomba dalam seni dan olah
raga." (al-Muhkam al-Matin, hal 138)
 
Kini kita tahu apa yang diinginkan
oleh musuh-musuh kita di balik
pagelaran dan ajang seni, hiburan dan
olah raga yang cenderung
dibesar-besarkan dan melampaui batas.
Tujuannya tidak lain yaitu agar ummat manusia
terus berada di dalam kesesatan, dan
tidak mampu melihat cahaya
kebenaran selama-lamanya. 
 
Maka jika kebenaran dan akal sehat
telah dikalahkan oleh syahwat serta
kecintaan terhadap selain Allah,
janganlah anda heran jika ada orang
yang mengaku muslim, namun masih
asyik di depan televisi untuk melihat
sebuah acara atau pertandingan
olah raga, padahal sudah masuk waktu
Jum'at dan shalat jama'ah. Dan
jangan heran pula, jika ada orang yang rela
mati hanya untuk membela sebuah
acara televisi, seorang artis,
olahragawan atau klub olah raga
tertentu sebagaimana yang terjadi
pada Mevi
seorang gadis penggemar acara
televisi, AFI. Andai saja pengorbanan ummat
Islam untuk agamanya sebesar
pengorbanan Mevi terhadap acara batil itu,
tentu ummat ini akan mencapai
Izzah dan kemuliaan.
 
Semoga Allah subhanahu wata'ala
membuka mata hati ummat Islam, para
orang tua, pemuda dan remaja muslim untuk
dapat melihat kebenaran
sebagai kebenaran lalu memberi kekuatan
untuk mengikutinya, dan melihat
kebatilan sebagai kebatilan lalu memberi
kemampuan untuk menjauhinya. Amin
ya Rabbal 'alamin. (Abu Ahmad) 

alsofwah.or.id

|+ Saat Aku Ingat Mati


 
Sesungguhnya kematian adalah haq, pasti terjadi, tidak dapat disangkal 
lagi. Allah ubhanahu wata'ala berfirman, artinya, 
"Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu 
selalu lari dari padanya." (QS. Qaaf:19) 
 
Adakah orang yang mendebat kematian dan sakaratul maut? Adakah orang 
yang mendebat kubur dan azabnya? Adakah orang yang mampu menunda 
kematiannya dari waktu yang telah ditentukan? 
 
Mengapa manusia takabur padahal kelak akan dimakan ulat? Mengapa 
manusia melampaui batas padahal di dalam tanah kelak akan terbujur? Mengapa 
berandai-andai, padahal anda mengetahui kematian akan datang secara 
tiba-tiba? 
 
Hakikat Kematian 
 
Adalah salah bila ada orang yang mengira bahwa kematian itu hanya 
ke-fana-an semata dan ketidak-adaan secara total yang tidak ada kehidupan, 
perhitungan, hari dikumpulkan, kebangkitan, surga atau neraka padanya!! 
Sebab andaikata demikian, tentulah tidak ada hikmah dari penciptaan dan 
wujud kita. Tentulah manusia semua sama saja setelah kematian dan dapat 
beristirahat lega; mukmin dan kafir sama, pembunuh dan terbunuh sama, 
si penzhalim dan yang terzhalimi sama, pelaku keta'atan dan maksiat 
sama, penzina dan si rajin shalat sama, pelaku perbuatan keji dan ahli 
takwa sama. 
 
Pandangan tersebut hanyalah bersumber dari pemahaman kaum atheis yang 
mereka itu lebih buruk dari binatang sekali pun. Yang mengatakan seperti 
ini hanyalah orang yang telah tidak punya rasa malu dan menggelari 
dirinya sebagai orang yang bodoh dan 'gila.' (Baca: QS. At-Taghabun:7, QS. 
Yaasiin: 78-79) 
 
Kematian adalah terputusnya hubungan ruh dengan badan, kemudian ruh 
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan seluruh lembaran amal 
ditutup, pintu taubat dan pemberian tempo pun terputus. 
 
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah 
menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat." (HR. At-Turmu-dzi dan Ibn 
Majah, dishahihkan Al-Hakim dan Ibn Hibban) 
 
Kematian Merupakan Musibah Paling Besar!! 
 
Kematian merupakan musibah paling besar, karena itu Allah ubhanahu 
wata'ala menamakannya dengan 'musibah maut' (Al-Maidah:106). Bila seorang 
hamba ahli keta'atan didatangi maut, ia menyesal mengapa tidak menambah 
amalan shalihnya, sedangkan bila seorang hamba ahli maksiat didatangi 
maut, ia menyesali atas perbuatan melampaui batas yang dilakukannya dan 
berkeinginan dapat dikembalikan ke dunia lagi, sehingga dapat bertaubat 
kepada Allah ubhanahu wata'ala dan memulai amal shalih. Namun! Itu 
semua adalah mustahil dan tidak akan terjadi!! (Baca: QS. Fushshilat: 24, 
QS. Al-Mu'minun: 99-100) 
 
Ingatlah Penghancur Segala Kenikmatan!! 
 
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan agar banyak mengingat 
kematian. Beliau bersabda, "Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan 
(maut)," (HR. At-Tirmidzi, hasan menurutnya). Imam Al-Qurthubi 
rahimahullah berkata, "Para ulama kita mengatakan, ucapan beliau, "Perbanyaklah 
mengingat penghancur kenikmatan", merupakan ucapan ringkas tapi padat, 
menghimpun makna peringatan dan amat mendalam penyampaian wejangannya. 
Sebab, orang yang benar-benar mengingat kematian, pasti akan mengurangi 
kenikmatan yang dirasakannya saat itu, mencegahnya untuk bercita-cita 
mendapatkannya di masa yang akan datang serta membuatnya menghindar dari 
mengangankannya, sekalipun hal itu masih memungkinkannya. 
 
Namun jiwa yang beku dan hati yang lalai selalu memerlukan wejangan 
yang lebih lama dari para penyuluh dan untaian kata-kata yang meluluhkan 
sebab bila tidak, sebenarnya ucapan beliau tersebut dan firman Allah 
ubhanahu wata'ala dalam surat Ali 'Imran ayat 185, (artinya, "Tiap-tiap 
yang berjiwa akan merasakan mati) sudah cukup bagi pendengar dan 
pemerhati-nya.!!" 
 
Siapa Orang Yang Paling Cerdik? 
 
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma pernah berkata, "Aku pernah menghadap 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai orang ke sepuluh yang 
datang, lalu salah seorang dari kaum Anshor berdiri seraya berkata, "Wahai 
Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdik dan paling tegas?" 
Beliau menjawab, "(adalah) Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan 
paling siap menghadapinya. Mereka itulah manusia-manusia cerdas; mereka 
pergi (mati) dengan harga diri dunia dan kemuliaan akhirat." (HR. 
Ath-Thabrani, dishahihkan al-Mundziri) 
 
Faedah Mengingat Kematian 
 
Di antara faedah mengingat kematian adalah: 
- Mendorong diri untuk bersiap-siap menghadapi kematian sebelum 
datangnya. 
 
- Memperpendek angan-angan untuk berlama-lama tinggal di dunia yang 
fana ini, karena panjang angan-angan merupakan sebab paling besar lahirnya 
kelalaian. 
 
- Menjauhkan diri dari cinta dunia dan rela dengan yang sedikit. 
 
- Menyugesti keinginan pada akhirat dan mengajak untuk berbuat ta'at. 
 
- Meringankan seorang hamba dalam menghadapi cobaan dunia. 
 
- Mencegah kerakusan dan ketamak-an terhadap kenikmatan duniawi. 
 
- Mendorong untuk bertaubat dan mengevaluasi kesalahan masa lalu. 
 
- Melunakkan hati, membuat mata menangis, memotivasi keinginan 
mempelajari agama dan mengusir keinginan hawa nafsu. 
 
- Mengajak bersikap rendah hati (tawadhu'), tidak sombong, dan berlaku 
zhalim. 
 
- Mendorong sikap toleransi, me-ma'afkan teman dan menerima alasan 
orang lain. 
 
Perkataan Orang-Orang Bijak 
 
 
  a.. Al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Umat sepakat bahwa kematian 
tidak memiliki usia tertentu, masa tertentu dan penyakit tertentu. Hal 
ini dimaksudkan agar seseorang senantiasa waspada dan bersiap-siap 
menghadapinya." 
 
 
 
  b.. Yazid Ar-Raqqasyi rahimahullah berkata kepada dirinya, "Celakalah 
engkau wahai Yazid! Siapa orang yang akan menggantikan shalatmu setelah 
mati? Siapa yang berpuasa untukmu setelah mati? Siapa yang memohon 
ridha Allah untukmu setelah mati? Wahai manusia! Tidakkah kamu menangis dan 
meratapi diri sendiri dalam sisa hidup kamu? Siapa yang dicari maut, 
kuburan jadi rumahnya, tanah jadi kasurnya dan ulat jadi teman dekatnya, 
lalu setelah itu ia akan menunggu lagi hari kecemasan yang paling 
besar; bagaimana kondisi orang yang seperti ini nanti.?" Beliau (Yazid-red) 
pun kemudian menangis. 
 
 
 
  c.. Ad-Daqqaq rahimahullah berkata, "Siapa yang banyak mengingat 
kematian, maka ia akan dimuliakan dengan tiga hal: Segera bertaubat; 
Mendapatkan kepuasan hati; dan bersemangat dalam beribadah. Dan siapa yang 
lupa akan kematian, maka ia akan disiksa dengan tiga hal: Menunda untuk 
bertaubat; Tidak merasa cukup dengan yang ada dan malas beribadah." 
 
 
 
  d.. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, "Sesungguhnya kematian 
ini telah merusak kenikmatan yang dirasakan para penikmatnya. Karena 
itu, carilah kehidupan yang tidak ada kematian di dalamnya."
 
 
 
Faktor-Faktor Pendorong Mengingat Kematian 
 
1. Ziarah kubur. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Berziarah 
kuburlah kamu, sebab ia dapat mengingatkanmu akan akhirat." (HR. Ahmad 
dan Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al-Albani) 
 
2. Melihat mayat ketika dimandikan. 
 
3. Menyaksikan orang-orang yang tengah sekarat dan menalqinkan mereka 
dengan kalimat syahadat. 
 
4. Mengiringi jenazah, shalat atasnya serta menghadiri penguburannya. 
 
5. Membaca Al-Qur'an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan akan 
kematian dan sakratul maut seperti ayat 19 surat Qaaf. 
 
6. Uban dan Penyakit. Kedua hal ini merupakan utusan malaikat maut 
kepada para hamba. 
 
7. Fenomena alam yang dijadikan Allah ubhanahu wata'ala untuk 
mengingatkan para hamba akan kematian seperti gempa, gunung meletus, banjir, 
badai dan sebagainya. 
 
8. Membaca berita-berita tentang umat-umat masa lalu yang telah 
dibinasakan oleh maut. 
 
Semoga Allah ubhanahu wata'ala menutup akhir hayat kita dengan Husnul 
Khatimah dan menerima semua amal shalih kita, Amin. (Abu Hafshah Hanif) 
 
(SUMBER: Buletin berjudul Kafaa bilmauti Waa'izha, Dep. Ilmiah Darul 
Wathan) 

Malu atau tak Mau Malu...?

 
Allah subhanahu wata'ala mencela orang-orang yang berkata tentang 
sesuatu dengan tanpa ilmu, Dia mencela mereka di dalam Kitab-Nya yang Agung
dan melalui lisan rasul-Nya yang mulia. Ini disebabkan karena ucapan
tanpa ilmu adalah menyesatkan bukan memberi petunjuk, merusak bukannya
mem-bangun. Sedangkan ucapan seseorang "Aku tidak tahu" dalam suatu hal
yang tidak dia ketahui maka ini bukanlah aib, bukan cela dalam ilmunya
maupun dalam kemampuannya, bahkan merupakan cerminan kesem-purnaan
pengetahuannya.
 
Ketika Allah subhanahu wata'ala bertanya kepada para Rasul tentang
ummatnya sepeninggal mereka, yakni tatkala mereka dikumpulkan pada hari
Kiamat maka para rasul menjawab, "tidak tahu." Allah subhanahu wata'ala
berfirman, artinya,
"(Ingatlah), hari diwaktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah
bertanya (kepada mereka), "Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)-mu". Para
rasul menjawab, "Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya
Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghaib". (QS. Al-Maaidah:109)
 Demikian para rasul ketika Allah subhanahu wata'ala bertanya tentang 
ummatnya, "Apa jawaban ummatmu terhadap seruanmu?" Maka mereka menjawab,
"Kami tidak mempunyai pengetahuan tentang itu," pengetahuan tentang itu
hanya ada pada-Mu wahai Rabb kami, Engkau lebih mengetahui daripada
kami, sebab Engkaulah yang mengetahui perkara ghaib, yaitu Engkau
mengetahui segala sesuatu yang ghaib dan yang tampak." (Taisir Al-Karim
Ar-Rahman, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa'di, 2/36)
 Ketika Allah subhanahu wata'ala bertanya kepada para malaikat tentang 
nama-nama benda yang ada di bumi, maka para malaikat menjawab
sebagaimana firman-Nya, artinya,
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!"
Mereka menjawab, "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah:31-32)
Para malaikat tidak malu untuk menyerahkan perkara yang tidak mereka 
ketahui kepada yang mengetahuinya yakni Allah subhanahu wata'ala.
 Ilmu merupakan lautan yang tidak bertepi, dan tidak ada yang dapat 
meliputinya kecuali Dzat yang Maha Meliputi segala sesuatu dengan ilmu,
Allah Yang Maha Agung.
Adapun manusia, maka seluruh manusia hanya mempunyai perbekalan sedikit
dari ilmu, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala, artinya, "Dan
tiadalah kalian diberikan ilmu kecuali hanya sedikit." (QS. Al-Israa':
85). Jika demikian, maka bukan hal yang memalukan dan bukan merupakan
aib jika seorang guru, ustadz atau siapa saja mengatakan tidak tahu
terhadap apa yang tidak dia ketahui.
 
Al-Mawardi rahimahullah dalam Adabu ad-Dunya wa ad-Diin hal 123 
mengatakan, "Jika seseorang tidak dapat menguasai sesuatu dengan ilmu maka 
bukan merupakan cela jika dia bodoh dalam sebagiannya. Dan jika bodoh 
dalam sebagian perkara bukan suatu aib maka bukan merupakan keburukan jika 
seseorang mengatakan "Aku tidak tahu" dalam hal yang tidak ia ketahui." 
 
Bahkan merupakan keburukan yang sangat besar jika seseorang melakukan 
penipuan terhadap orang lain dengan ucapan yang salah dan ngawur. Para
siswa atau pun masyarakat pada umumnya jika mendapati seorang pengajar
atau ustadz yang memberikan jawaban salah (ngawur) hanya semata-mata
agar bebas dari satu kasus tertentu, maka suatu saat kebohongannya pasti
akan tersingkap baik dalam waktu dekat atau lambat. Dan yang terjadi
setelah itu adalah para siswa atau orang-orang akan kehilangan
keper-cayaan terhadap setiap pengajaran dan informasi yang dia sampaikan.
 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri ketika beliau ditanyai
sesuatu lalu beliau tidak mengetahui jawabannya, maka beliau
mengatakan, "Aku tidak tahu," sehingga turun wahyu kepada beliau tentang hal
tersebut.
 
Suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 
'alaihi wasallam, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah tempat manakah yang
paling baik? Maka beliau menjawab, "Aku tidak tahu." Lalu orang tersebut
bertanya lagi, "Tempat manakah yang paling buruk?" Maka Rasulullah
menjawab, "Aku tidak tahu." Orang tersebut lalu berkata, "Tanyakanlah kepada
Rabbmu." Maka datanglah Jibril 'alaihissaalam kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau berkata, "Wahai Jibril tempat manakah
yang paling baik? Jibril menjawab, "Aku tidak tahu." Lalu Nabi bertanya
lagi, "Tempat manakah yang paling buruk?" Maka Jibril menjawab, "Aku
tidak tahu." Demikianlah, hingga akhirnya Jibril 'alaihissaalam bertanya kepada
Allah subhanahu wata'ala, sehingga diberitahukan bahwa tempat yang paling
baik adalah masjid-masjid, dan tempat yang paling buruk adalah
pasar-pasar.
Abu Bakar radhiyallahu 'anhu juga telah mem-berikan contoh kepada kita 
dalam meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dia
mengatakan, "Langit yang manakah tempat aku bernaung, bumi manakah tempat aku
berpijak jika aku mengatakan tentang Kitabullah dengan tanpa ilmu?"
 Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu juga mengatakan, "Sesungguhnya termasuk 
bagian dari ilmu jika engkau mengatakan tentang sesuatu yang tidak
engkau ketahui, 'Allahu a'lam (Allah yang lebih tahu)."
 Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan sebagaimana 
diriwayat-kan oleh Asy-Sya'bi, bahwa beliau keluar menemui para tabi'in lalu berkata, "Sungguh membuat hati menjadi sejuk." Lalu ditanyakan,
"Apakah itu?" Beliau berkata, "Engkau mengatakan, "Allahu a'lam" terhadap
sesuatu yang tidak engkau ketahui."
 Nafi' mantan budak Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari 
beliau, dia mengatakan, "Bahwa Ibnu Umar apabila ditanya tentang sesuatu
yang tidak dia ketahui dia menjawab, "Tidak tahu, aku tidak memiliki
pengetahuan tentang itu." Dan tentunya masih banyak ucapan-ucapan yang
semakna dengan ini dari para shahabat, para imam dan ulama kaum muslimin.
Seorang penyair berkata, 
Jika kau tak tahu tentang sesuatu yang ditanyakan padamu 
Sementara tentangnya engkau tidak punya ilmu 
Maka jangan katakan dengan tanpa kepahamanmu 
Sesungguhnya kesalahan adalah cela bagi ahli ilmu 
 
Jika engkau tidak tahu akan suatu perkara 
Maka katakan aku tidak tahu jawabannya 
Inilah bagian dari ilmu di sisi para ulama 
Demikian selalu dikatakan oleh para hukama. 
 
Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 
   a.. Ucapan dengan tanpa ilmu adalah perbuatan yang tercela, baik 
menurut Kitabullah maupun sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. 
  b.. Orang yang berbicara dengan tanpa ilmu maka dia merusak bukan 
membawa kebaikan. 
   c.. Ketidaktahuan tentang sesuatu bukan merupakan aib dan kekurangan 
bagi seorang guru (pengajar). 
  d.. Rasa malu atau keengganan mengucapkan, "saya tidak tahu" jangan 
sampai menyebabkan seorang pengajar memberikan informasi yang salah 
kepada para pelajar. 
  e.. Setiap pengajar wajib menanamkan pondasi sikap ini kepada seluruh 
siswa dan menekankan hal tersebut. 
  f.. Ucapan "saya tidak tahu" adalah bagian dari ilmu bahkan Abu 
Darda' radhiyallahu 'anhu mengatakan bahwa ia adalah separuh dari ilmu." 
 
 Sumber: "Al Mu'allim al Awwal, Fuad bin Abdul Aziz Al Syalhub (Kholif 
Abu Ahmad) 

April 18, 2007

Memutus Tali Silaturrahim

Di antara fenomena yang marak di masyarakat dewasa ini adalah pemutusan
silaturrahim, baik terjadi di internal keluarga maupun dengan kalangan
kerabat. Apa sebenarnya penyebab terjadinya pemutusan silaturrahim
tersebut? Apa pula solusinya?

Sebab-Sebab Terjadinya Pemutusan Silaturrahim

1. Ketidaktahuan akan akibat-akibat memutuskan silaturrahim, baik
akibat
yang segera muncul atau pun yang kelak akan terjadi.

2. Ketidaktahuan akan keutamaan menyambung silaturrahim, baik keutamaan
yang segera akan diperoleh atau pun yang kelak akan diperolehnya.

3. Lemahnya ketakwaan seseorang dan kurang kuat agamanya

4. Sikap sombong.
Contohnya bila mendapatkan pangkat yang tinggi atau sebagai seorang
tajir
besar, seseorang bersikap sombong terhadap kaum kerabatnya, enggan
mengunjungi mereka dengan anggapan bahwa dirinyalah yang pantas untuk
dikunjungi, bukan sebaliknya.!?

5. Terputusnya Hubungan yang Ber-langsung Lama.
Hal ini menimbulkan adanya jarak dan jurang di antara mereka. Hubungan
menjadi tidak akrab lagi dan suka menunda-nunda untuk berkunjung.
Akibatnya, lama kelamaan malah terputus total dan terbiasalah dengan
pemutusan silaturrahim dan saling menjauhi.

6. Cercaan yang Berlebihan.
Sebagian orang ada yang bila salah seorang kerabatnya baru
mengunjunginya
setelah sekian lama terputus, maka ia langsung menghujaninya dengan
serentetan omelan, cercaan, kecaman pedas atas keteledoran dan
keterlambatannya datang itu. Dari sini, terjadilah tindakan menjauhi
orang
tersebut dan keengganan untuk datang karena takut diomeli, dicerca, dan
dikecam.

7. Sambutan Berlebihan.
Ada pula orang menyikapi sebalik-nya; bila salah seorang kerabatnya
datang, maka ia menyambutnya secara berlebihan dengan pembo-rosan dari
sisi pengeluaran dan bersusah payah untuk menghormatinya padahal bisa
jadi, bukan termasuk keluarga yang mampu dan berada. Dari sini, para
kerabatnya menjaga jarak dan membatasi diri untuk datang ke rumahnya
karena takut menyusahkannya.

8. Kurang Perhatian terhadap Tamu.
Ini termasuk sebab yang menimbulkan pemutusan silaturrahim di antara
kalangan kerabat. Ada semen-tara orang yang bila kalangan kerabatnya
mengunjunginya, ia tidak menunjukkan perhatian terhadap mereka dan
tidak
mendengarkan pembicaraan mereka. Malah, berpaling dan membuang muka
bila
mereka berbicara, tidak suka dengan kedatangan mereka, tidak berterima
kasih atas kedatangan mereka dan menyambut mereka dengan berat dan
dingin.
Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak suka berkunjung kepadanya.

9. Sikap Bakhil dan Pelit.
Sementara orang ada yang bila dianugerahi rizki oleh Allah subhanahu
wata’ala dengan harta atau kedudukan, ia selalu menghindar dari
kalangan
kerabatnya. Sikap ini bukan karena kesombongan tetapi karena takut
kalau
pintunya yang selalu terbuka buat kalangan kerabatnya itu
disalah-artikan
di mana lama kelamaan membuat mereka mulai berani meminjam uang
kepadanya,
mengaju-kan berbagai permintaan atau hal lainnya. Karena itu, alih-alih
membu-kakan pintu, menyambut dan memberikan pelayanan kepada mereka, ia
malah berpaling dan membuang muka serta mengisolir mereka agar tidak
selalu menyusahkannya dengan berbagai permintaan.

10. Keterlambatan Pembagian Harta Warisan.
Bisa jadi, di antara kalangan kerabat terdapat warisan yang belum
dituntaskan pembagiannya, baik karena masih bermalas-malasan
mengurusinya,
karena sebagian mereka ada yang keras kepala, atau sebab lainnya.
Semakin
pembagian warisan itu ditunda-tunda dan berlangsung lama, maka akan
semakin rentan terjadi permusuhan dan kebencian di antara sesama
kerabat;
yang satu ingin segera mendapatkan jatah warisan agar dapat
menikmatinya,
yang satu lagi bisa jadi meninggal dunia sehingga anak-anaknya sibuk
menghitung-hitung seberapa besar bagian yang didapat orang tua mereka
bahkan dengan membayar para pengacara agar dapat mengambil bagian
orangtuanya. Sementara ada yang lain lagi, selalu curiga dan berburuk
sangka terhadap salah satu dari kalangan kerabatnya itu.

Demikianlah, akhirnya permasalahan menjadi semakin tumpang-tindih dan
kacau bahkan kian bertumpuk sehingga akhirnya terjadi jurang pemisah di
mana pemutusan silaturrahim menjadi lebih dominan.

11. Sibuk Dengan Urusan Duniaw dan Bersenang-Senang di Balik
Gemerlapnya.
Maka, orang seperti ini tidak mendapatkan waktu untuk menyambung
silaturrahim dengan kerabatnya dan menjalin kasih sayang dengan mereka.

12. Sering Terjadinya Perceraian di Kalangan Kerabat.
Terkadang terjadi perceraian di kalangan kerabat sehingga permasalahan
yang terjadi antara suami isteri semakin banyak, baik disebab-kan
anak-anak, sebagian hal yang terkait dengan talak atau hal lainnya.

13. Jarak yang Jauh dan Malas Ber-kunjung.
Ada sementara orang yang kediamannya jauh dan mengalami kesulitan untuk
mencapai tempat berkunjung. Akibatnya, lebih memilih untuk menghindar
dari
keluarga dan kerabatnya. Bila berkeinginan untuk mengunjungi mereka, ia
selalu merasa kesulitan, malas untuk datang dan berkunjung.

14. Tempat Tinggal yang Berdekatan antara Kerabat.
Barangkali hal ini dapat menimbulkan sikap saling menghindar dan
memutuskan hubungan di antara kalangan kerabat. Hal ini sebagaimana
diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu yang berkata, "Perintahkanlah kaum kerabat untuk saling
ber-kunjung
dan tidak untuk saling bertetangga."

Maknanya, Beliau (Umar) mengatakan hal itu karena bertetangga dapat
menimbulkan tumpang tindih atas hak, dan barangkali menimbulkan
keterasingan dan pemutusan silaturrahim. Berkunjung hendaknya dilakukan
secara jarang-jarang sebab sering dikatakan, “Berkunjunglah
jarang-jarang,
niscaya akan menambah kecintaan.”

15. Tidak Tahan dan Sabar Atas Tindakan Kalangan Kerabat.
Sebagian orang ada yang tidak tahan dengan tindakan kalangan
kerabatnya,
walau pun hanya sepele. Begitu terjadi kesalahan tak sengaja dari salah
seorang kerabat atau mendapat cercaan darinya, langsung memutus
silaturrahim dan mengisolir mereka.

16. Melupakan Kalangan Kerabat di Hari Walimah dan Pesta.
Terkadang salah seorang keluarga mengadakan walimah atau pesta
tertentu,
lalu mengundang kalangan kerabatnya baik melalui lisan, kartu undangan
atau via telepon. Terkadang lupa dengan salah seorang dari mereka
dimana
kebetulan orang yang tidak sengaja dilupakan ini memiliki jiwa yang
lemah,
temperamental atau selalu berburuk sangka. Lalu kelupaan itu, ia
tafsirkan
sebagai tindakan sengaja melupakannya atau menghinakan dirinya sehingga
sangkaan ini kemudian menyeretnya untuk mengisolir kerabatnya tersebut
atau memutuskan silaturrahim.

17. Iri Hati.
Ada sementara orang yang dianu-gerahi oleh Allah subhanahu wata’ala
dengan
ilmu, kedudukan, harta atau mendapat kecintaan dari orang banyak. Ia
selalu melayani keluarga dan kalangan kerabatnya serta selalu terbuka
untuk mereka. Karena hal ini, bisa jadi sebagian kerabatnya ada yang
iri
hati terhadapnya, me-musuhinya, membuat keributan di seputarnya dan
meragukan ketulus-annya tersebut.!?

18. Terlalu Banyak Canda.
Kebiasaan ini memiliki dampak negatif. Bisa jadi, keluar kata-kata yang
menyakitkan dari seseorang dengan tanpa mempertimbangkan perasaan orang
lain, lalu kebetulan yang jadi sasaran adalah orang yang sangat
sensitif
sehingga menimbul-kan kebencian dalam dirinya terhadap orang yang
mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.! Ini banyak terjadi di kalangan
kaum kerabat karena mereka terlalu sering berkumpul dan berjumpa.

19. Adu Domba dan Senang Mendengar-kannya.
Sebagian orang ada yang 'hobi'nya hanya merusak hubungan baik orang
lain.
Ia selalu berupaya untuk memisahkan antara orang-orang yang saling
berkasih sayang dan memperkeruh suasana. Dan, sungguh akan lebih besar
lagi bahayanya bilamana ada orang yang selalu mendengarkan adu domba
ini
dan membenarkannya.!!

so...Solusinya...?

Solusi dari terjadinya pemutusan silaturrahim ini adalah dengan
mewaspadainya dan menghindarkan diri dari faktor-faktor yang dapat
menyebabkannya. Kemudian melakukan hal yang sebaliknya, yaitu
menyambung
silatur-rahim, mengenali maknanya, keutamaannya, jalan-jalannya,
faktor-faktor yang mendukungnya serta etika-etika yang harus dijaga
dalam
berinteraksi dengan kalangan kerabat. Wallahu a'lam. [Hafied M Chofie]

Sumber: Qathi'atur Rahim, al-Mazhahir, al-Asbab, Subulul 'Ilaj karya
Muhammad bin Ibrahim al Hamad.

April 15, 2007

Dia Datang, Kita Pergi

Saudaraku, tahukah kamu siapa pengunjung terakhirmu? Tahukah kamu apa
tujuan ia berkunjung dan menemuimu? Apa saja yang dimintanya darimu?

Sungguh! Ia tak datang karena haus akan hartamu, karena ingin ikut
nimbrung makan, minum bersamamu, meminta bantuanmu untuk membayar
hutangnya, memintamu memberikan rekomendasi kepada seseorang atau untuk
memuluskan upaya yang tidak mampu ia lakukan sendiri.!!

Pengunjung ini datang untuk misi penting dan terbatas serta dalam
masalah terbatas. Kamu dan keluargamu bahkan seluruh penduduk bumi ini tidak
akan mampu menolaknya dalam merealisasikan misinya tersebut!

Kalau pun kamu tinggal di istana-istana yang menjulang, berlindung di
benteng-benteng yang kokoh dan di menara-menara yang kuat, mendapatkan
penjagaan dan pengamanan yang super ketat, kamu tidak dapat mencegahnya
masuk untuk menemuimu dan menuntaskan urusannya denganmu!!


Untuk menemuimu, ia tidak butuh pintu masuk, izin, dan membuat
perjanjian terlebih dahulu sebelum datang. Ia datang kapan saja waktunya dan
dalam kondisi bagaimanapun; dalam kondisimu sedang sibuk ataupun sedang
luang, sedang sehat ataupun sedang sakit, semasa kamu masih kaya ataupun
sedang dalam kondisi melarat, ketika kamu sedang bepergian atau pun
tinggal di tempatmu.!!

Saudaraku! Pengunjungmu ini tidak memiliki hati yang gampang luluh. Ia
tidak bisa terpengaruh oleh ucapan-ucapan dan tangismu bahkan oleh
jeritanmu dan perantara yang menolongmu. Ia tidak akan memberimu kesempatan
untuk mengevaluasi perhitungan-perhitunganmu dan meninjau kembali
perkaramu!


Kalau pun kamu berusaha memberinya hadiah atau menyogoknya, ia tidak
akan menerimanya sebab seluruh hartamu itu tidak berarti apa-apa baginya
dan tidak membuatnya mundur dari tujuannya!

Sungguh! Ia hanya menginginkan dirimu saja, bukan orang lain! Ia
menginginkanmu seutuhnya bukan separoh badanmu! Ia ingin membinasakanmu! Ia
ingin kematian dan mencabut nyawamu! Menghancurkan raga dan mematikan
tubuhmu! Dia lah malaikat maut!!!

Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya:
"Katakanlah, 'Malaikat Maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan
mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan
dikembalikan." (QS. As-Sajadah: 11)


Dan firman-Nya, artinya:
"Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu,
ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami
itu tidak melalaikan kewajibannya." (QS. Al-An'am: 61)

Kereta Usia

Tahukah kamu bahwa kunjungan Malaikat Maut merupakan sesuatu yang
pasti? Tahukah kamu bahwa kita semua akan menjadi musafir ke tempat ini?
Sang musafir hampir mencapai tujuannya dan mengekang kendaraannya untuk
berhenti?

Tahukah kamu bahwa perputaran kehidupan hampir akan terhenti dan
'kereta usia' sudah mendekati rute terakhirnya? Sebagian orang shalih
mendengar tangisan seseorang atas kematian temannya, lalu ia berkata dalam
hatinya, "Aneh, kenapa ada kaum yang akan menjadi musafir menangisi
musafir lain yang sudah sampai ke tempat tinggalnya?"

Berhati-hatilah!

Semoga anda tidak termasuk orang yang Allah subhanahu wata'ala
sebutkan, artinya:
"Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat (Maut) mencabut nyawa
mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka?" (QS. Muhammad:
27)

Atau firman-Nya, artinya:

"(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan
berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri
(sambil berkata), 'Kami sekali-kali tidak ada mengerjakan sesuatu kejahatan
pun." (Malaikat menjawab), "Ada, sesungguh-nya Allah Maha Mengetahui
apa yang telah kamu kerjakan. "Maka masuklah ke pintu-pintu neraka
Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang
menyombong-kan diri itu." (QS. An-Nahl: 28-29)


Tahukah kamu bahwa kunjungan Malaikat Maut kepadamu akan mengakhiri
hidupmu? Menyudahi aktivitasmu? Dan menutup lembaran-lembaran amalmu?

Tahukah kamu, setelah kunjungan-nya itu kamu tidak akan dapat lagi
melakukan satu kebaikan pun? Tidak dapat melakukan shalat dua raka'at?
Tidak dapat membaca satu ayat pun dari kitab-Nya? Tidak dapat bertasbih,
bertahmid, bertahlil, bertakbir, beristighfar walau pun sekali? Tidak
dapat berpuasa sehari? Bersedekah dengan sesuatu meskipun sedikit? Tidak
dapat melakukan haji dan umrah? Tidak dapat berbuat baik kepada kerabat
atau pun tetangga?

'Kontrak' amalmu sudah berakhir dan engkau hanya menunggu perhitungan
dan pembalasan atas kebaikan atau keburukanmu!!

Allah subhanahu wata'ala berfirman, artinya:
"(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku,
kembalikan lah aku (ke dunia)." Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang
telah aku tinggalkan." Sekali-kali tidak. Sesungguh-nya itu adalah
perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari
mereka dibangkitkan." (QS. Al-Mu'minun: 99-100)

Persiapkan Dirimu!

Mana persiapanmu untuk menemui Malaikat Maut? Mana persiapanmu
menyongsong huru-hara setelahnya; di alam kubur ketika menghadapi pertanyaan,
ketika di Padang Mahsyar, ketika hari Hisab, ketika ditimbang, ketika
diperlihatkan lembaran amal kebaikan, ketika melintasi Shirath dan
berdiri di hadapan Allah Al-Jabbar?

Dari 'Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah
shallallahu 'alihi wasallam bersabda,
"Tidak seorang pun dari kamu melainkan akan diajak bicara oleh Allah
pada hari Kiamat, tidak ada penerjemah antara dirinya dan Dia, lalu ia
memandang yang lebih beruntung darinya, maka ia tidak melihat kecuali apa
yang telah diberikannya dan memandang yang lebih sial darinya, maka ia
tidak melihat selain apa yang telah diberikannya. Lalu memandang di
hadapannya, maka ia tidak melihat selain neraka yang berada di hadapan
mukanya. Karena itu, takutlah api neraka walau pun dengan sebelah biji
kurma dan walau pun dengan ucapan yang baik." (Muttafaqun 'alaih)

Berhitunglah Atas Dirimu!

Saudaraku, berhitunglah atas dirimu di saat senggangmu, berpikirlah
betapa cepat akan berakhirnya masa hidupmu, bekerjalah dengan
sungguh-sungguh di masa luangmu untuk masa sulit dan kebutuhanmu, renungkanlah
sebelum melakukan suatu pekerjaan yang kelak akan didiktekan di lembaran
amalmu.

Di mana harta benda yang telah kau kumpulkan? Apakah ia dapat
menyelamatkanmu dari cobaan dan huru-hara itu? Sungguh, tidak! Kamu akan
meninggalkannya untuk orang yang tidak pernah menyanjungmu dan maju dengan
membawa dosa kepada Yang tidak akan memberikan toleransi padamu! (Abu
Shofiyyah)

Sumber: Az-Zâ'ir Al-Akhîr karya Khalid bin Abu Shalih

Alsofwah.or.id

salahkah takdir ?


Sebagian orang ada yang beralasan dengan takdir ketika berbuat maksiat
atau dosa. Seorang pencuri, perampok atau peminum minuman keras, bisa
jadi akan mengatakan, "Habis mau bagaimana, memang sudah dari sananya,"
maksudnya sudah ditetapkan olah Allah subhanahu wata’ala. Ada kalanya
mereka mengatakan demikian karena untuk menenangkan atau menghibur
diri. Bahkan ada yang mengaku bahwa itu adalah bagian dari keimanan
terhadap qadha' dan qadar. Yakni qadar Allah yang baik dan yang buruk yang
manis maupun yang pahit, semuanya dari Allah. Sehingga dengan alasan itu
seakan-akan mereka terbebas dari kesalahan dan tuntutan dosa, karena apa
yang dia lakukan berupa kemaksiatan adalah berasal dari ketetapan Allah
juga. Benarkah demikian?

Pada dasarnya memang segala sesuatu adalah ciptaan Allah
, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan apa yang

tidak Dia
kehendaki maka tidak akan terjadi. Hanya Allah sendirilah yang bukan
makhluk, baik Dzat maupun sifat-sifat-Nya, sedangkan selain Dia adalah
makhluk, Dialah Al- Khaliq. Dan di antara makhluk Allah
adalah kebaikan dan keburukan, segala yang baik dan segala yang buruk.
Makhluk ciptaan Allah yang baik misalnya malaikat dan para nabi, dan
makhluk Allah yang buruk misalnya Iblis dan para penentang rasul seperti
Abu Lahab, Abu Jahal dan orang yang semisalnya.

Namun harus diingat bahwa Allah amenjadikan manusia
ini bukan seperti robot yang tergantung operator. Bukan pula seperti
batu dan pohon. Manusia adalah makhluk mukallaf yang diberi kemampuan
dapat membedakan yang baik dan buruk serta kemampuan memilihnya,
sebagaimana firman-Nya, artinya,
Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.
(QS.Hud:7)

Dan di dalam firman-Nya yang lain, artinya,


Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun. (QS. 67:2)

Juga di dalam ayat lain,
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),
karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. 76:2)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk
diuji agar berbuat baik menurut kemampuannya. Dia akan melaksanakan
ataukah tidak setelah mengetahui kebaikan tersebut. Dan kemampuan seperti
ini telah ada pada manusia sebagai anugrah dari Allah, yakni berupa:

1. Akal sehat, yang merupakan tumpuan taklif. Oleh karena itu, setiap
orang yang berakal sehat adalah mukallaf, sehingga siapa saja yang
hilang akalnya, maka secara otomatis hilang pula taklif dari dirinya.
Sebagai misal, orang gila yang

mengambil uang atau benda milik orang lain,
atau tidak shalat maka tidak dapat disalahkan, karena akal sehatnya
hilang sehingga taklif (beban dosa) dari perbuatan salahnya juga hilang.

2. Normalnya alat/sarana yang menjadi tolok ukur kemampuan dari segi
kesehatan dan kemampuan. Maksud nya adalah anggota badan yang normal yang
dengannya memungkinkan seseorang untuk mengerjakan kebaikan tersebut.
Oleh karena itu orang yang sedang sakit tidak kena beban puasa atau
shalat berjama'ah di masjid dan beban-beban lain yang dia tidak mampu
melakukan nya dalam kondisi tertentu. Ada pun yang dia mampu, maka tetap
menjadi taklif baginya, misalnya shalat dengan berbaring.

Faktor yang memotivasi kebaikan adalah: pertama; Fithrah (naluri asli
manusia yang condong kepada kebaikan). Ke dua; Akal yang mampu
membedakan dan menganalisa, dan yang ke tiga; Wahyu Allah yang diberikan kepada
rasul dan telah disampaikan kepada manusia.

Sedangkan yang memotivasi
kejahatan adalah syetan, yang didukung dengan keinginan-keinginan nafsu
manusia, dan nafsu inilah yang biasa dimanfaatkan oleh setan. Allah
telah memberikan kemampuan kepada setan untuk
mempengaruhi manusia, namun manusia juga diberi senjata untuk menghadapinya,
yaitu petunjuk jalan dan perlindungan bagi siapa saja yang berlindung
kepada-Nya. Terserah manusia akan menggunakan senjata tersebut atau
tidak. Allah telah memerintahkan manusia untuk
berlindung kepada-Nya dari kejahatan setan. Dia berfirman, artinya,
“Katakanlah, "Aku berlindung kepada Rabb manusia". Raja manusia.
Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan
manusia. (QS. 114:1-6)

Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya setan itu mengalir pada tubuh manusia

seperti mengalirnya
darah." (HR.al-Bukhari)

Allah adalah hakim yang Maha Adil. Dia mempunyai
hujjah-hujjah yang nyata atas hamba-hamba Nya. Dia menjadikan faktor
pendorong kebaikan lebih banyak daripada faktor pendorong kejahatan, dan
Dia menjelas kan dua jalan ini melalui firman-Nya, artinya,
"Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS.Al Balad:10)

Setelah itu manusia mengambil jalan yang dia kehendaki berdasarkan
pilihannya. Maka siapa saja yang menempuh jalan kebaikan, menuruti faktor
pendorong kebaikan, mengalah kan faktor pendorong keburukan, maka dia
berhak mendapatkan ganjaran pahala. Dan barang siapa yang memilih jalan
keburukan, mengikuti faktor pendorong keburukan, maka dia berhak
mendapatkan siksa.

Keseluruhan perbuatannya itu terjadi atas kemauan dan pilihan manusia
sendiri. Dia merasakan dengan kesadaran yang sepenuhnya, bahwa dia tidak
dipaksa untuk

melakukannya. Dan jika dia mau, maka ia tidak berbuat
yang demikian itu. Semua ini dapat dimengerti secara sempurna dan
dirasakan oleh setiap insan, dan juga telah dinyatakan oleh dalil-dalil
al-Qur'an dan as-Sunnah yang suci.

Kemudian pelaksanaan kebaikan maupun keburukan oleh manusia tidak
menafikan penisbatan (terjadinya) kepada Allah yang menciptakan, karena Dia
adalah Dzat yang mencipta kan segala sesuatu dan sebab-sebab kejadian.
Namun keburukan yang dilakukan oleh manusia bukanlah kehendak Allah,
sehingga tidak mungkin untuk dinisbatkan kepada Allah , terbukti Allah
mengutus rasul, menurunkan wahyu dan membekali manusia dengan akal dan
fithrah yang lurus.

Maka apabila ada manusia yang beralasan dengan qadar untuk berbuat
maksiat, jelas alasannya tidak dapat diterima dan tidak masuk akal. Allah
telah mencela orang-orang musyrik yang berdalih
dengan masyi'ah (kehendak) Allah atas

kekufuran yang mereka lakukan dalam
firman Nya, artinya,
"Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, "Jika Allah
menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya
dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian
pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul)
sampai mereka merasakan siksaan Kami". Kamu tidak mengikuti kecuali
persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta (QS. 6:148)

Di dalam surat yang lain Allah juga telah
berfirman, artinya,
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, "Jika Allah menghendaki, niscaya
kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun
bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa
(izin)-Nya".Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka
tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat
Allah)

dengan terang. (QS. 16:35)

Mereka orang-orang musyrik berdalil dengan masyi'ah (kehendak) Allah,
atas dasar ridha dan mahabbah-Nya dan bahkan mereka menjadikan masyi'ah
sebagai tanda ridha. Padahal Allah tidak mencintai kesyirikan dan tidak
pula meridhainya, bahkan Allah mengutuk dan
melarangnya. Maka apa yang dia perintahkan itulah yang diridhai dan dicintai,
dan apa yang Dia larang adalah yang dicela dan dimurkai.

Oleh karena itu, berhujah dengan qadar ketika melaksanakan keburukan
adalah merusak dan menghilangkan makna balasan atas amal perbuatan baik,
juga merusak hikmah penciptaan surga dan neraka. Sehingga akan menjadi
sama saja antara orang yang berbuat baik dengan orang yang paling jahat
sekalipun. Semua masuk surga dan tidak ada yang disiksa. Sama saja
antara Fir'aun dan Nabi Musa ‘alaihis salam, antara Nabi Ibrahim
’alaihis salam dengan Namrudz, antara Rasulullah shallallahu

alaihi
wasallam dengan Abu Jahal dan Abu Lahab. Ini jelas tidak mungkin, karena
bertentangan dengan sifat Allah yang Maha Adil.

Kemudian orang yang berdalih dengan takdir pasti tidak akan mau
menerima hujjah orang lain yang juga berdalih dengan takdir. Andaikan suatu
saat ada orang lain yang mengambil hartanya, atau mencederai dan bahkan
membunuh keluarganya -misalnya-, maka apakah dia menerima alasan orang
yang berbuat jahat terhadapnya itu, ketika mengatakan, "Ini adalah
takdir dari Allah, jangan salahkan saya." Tentu tidak, bahkan ia menuntut
haknya dan meminta agar diterapkan hukuman atas orang yang telah
menyalahi hukum dengan berbuat jahat terhadapnya. Apa yang terjadi memang benar
takdir Allah, namun kehendak jahat dan buruk tersebut adalah dari
pelakunya. Dia berbuat secara sadar, tidak dalam keadaan hilang akal, dan
sebenarnya dia juga punya pilihan dan kemampuan untuk tidak melakukan hal
itu.



Dan ada satu pertanyaan yang cukup mengherankan untuk orang yang
beralasan dengan takdir ketika melakukan maksiat yaitu, mengapa dia tidak
beralasan dengan takdir juga ketika melakukan kebaikan? Sehingga tidak
perlu mengharap pahala dan surga, karena Allah-lah yang menakdirkan
kebaikan itu. Ini merupakan sikap seenaknya dan tidak konsisten. Ketika
berbuat buruk dinisbatkan kepada Allah sedangkan ketika
berbuat baik dinisbatkan kepada diri sendiri.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beralasan dengan takdir
ketika melakukan kejahatan dan kemaksiatan adalah tidak benar dan
alasannya tidak dapat diterima. Seandainya takdir adalah hujjah untuk
kemaksiatan, maka tentu akan menjadi hujjah bagi semuanya, dalam segala urusan
dan dalam kondisi apa pun. Sehingga tidak ada bedanya antara orang yang
berbuat baik dan yang berbuat jahat. Lalu apa gunanya Allah
menjanjikan

balasan pahala bagi yang berbuat baik dan siksa
bagi yang berbuat jahat, jika semua orang yang berbuat jahat diterima
alasannya, yaitu karena sudah takdir?

Oleh karena itu, seorang mukallaf senantiasa dituntut untuk melakukan
kebaikan (setelah dia tahu) dan meninggalkan keburukan selama akal
sehatnya masih belum hilang dan dia memiliki kemampuan untuk melakukan hal
itu. Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber: Kitab Tauhid 2 Ali, hal 176-181, dengan beberapa
penambahan dan penyesuaian. (Abu Ahmad Taqiyuddin)


April 12, 2007

Menggapai Kebahagiaan Hakiki

Apakah kita termasuk orang yang bahagia? bahagiakah sodara?bahagiakah kita sebenarnya? Sebuah pertanyaan yang pantas
untuk dilontarkan kepada diri kita masing-masing. Mungkin di antara kita
saat ini ada yang memiliki harta melimpah ruah, tetapi tak merasa
bahagia. Ada pula yang memiliki popularitas dan jabatan yang tinggi, namun
dia tidak merasa bahagia. Ada juga di antara kita yang sangat
terpandang di masyarakat dan menjadi tokoh terkemuka, tetapi itu pun tidak
membuatnya bahagia. Ada juga yang mencoba melancong ke luar negeri
mengunjungi tempat-tempat wisata yang beraneka ragam namun ternyata kebahagiaan
itu tidak juga menyertainya.

Lalu...

Kalau demikian, ternyata ukuran bahagia itu
bukan ada pada banyaknya
harta, bukan ada di jabatan dan ketenaran, bukan pula pada ketokohan
seseorang dan juga bukan dengan melancong. Lantas di manakah kebahagiaan
itu, dan bagaimana pula kita dapat merealisasikannya?

Kebahagiaan adalah kondisi jiwa ketika seseorang mampu melakukan suatu
perbuatan yang bernilai dan luhur. Ia merupakan kekuatan batin yang
memancarkan ketenangan dan kedamaian, merupakan karunia Allah subhanahu
wata'ala yang membuat jiwa lapang dan bergembira.

Bahagia adalah kejernihan hati, kebersihan prilaku dan keelokan ruhani.
Hal itu merupakan pemberian Allah subhanahu wata'ala yang diberikan
kepada siapa saja yang melakukan perbuatan terpuji.

Bahagia adalah rasa ridha yang mendalam dan sikap qana'ah. Ia bukan
barang dagangan yang bisa dibeli di pasar oleh orang sekaya apa pun,
tetapi merupakan dagangan Allah lsubhanahu wata'ala yang dikaruniakan kepada
jiwa-jiwa yang terpilih.

Kebahagiaan itu kelapangan jiwa, bahagia itu tatkala anda bisa membuat
senang hati orang lain, menyungging senyum di wajah, dan anda merasa
lega tatkala dapat ber
buat baik kepada sesama, merasa nikmat ketika anda bersikap baik kepada
mereka.

Kebahagiaan adalah membuang jauh segala pikiran negatif dan mengisinya
dengan pikiran yang positif. Ia merupakan sebuah kekuatan yang mampu
menghadapi berbagai tekanan dan sekaligus mencari solusi bukan
berdasarkan emosi.

Kebahagian itu ada pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, ada
dalam meninggalkan kebencian, kedengkian dan sikap tamak terhadap
kepemilikan orang lain.

Bahagia itu terdapat dalam dzikir kepada Allah subhanahu wata'ala,
syukur kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya. Dan kebahagiaan hakiki
adalah meraih surga dan terbebas dari api neraka.

Ungkapan tentang Kebahagiaan

a.. Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari
orang lain dan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan pelajaran
oleh orang lain.

b.. Bahagia adalah jika anda senang untuk berbuat kebaikan, bukan
dengan berbuat apa saja yang anda senang.

c.. Orang bahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari masa
lalu dan berhati-hati terhadap dirinya. Orang celaka adalah orang yang
mengumpulkan harta untuk orang lain dan bakhil untuk memberikan kebaikan
kepada dirinya sendiri.

d.. Orang bahagia yaitu yang mau mengambil faidah dari pengalaman
masa lalu, bersemangat pada hari ini dan optimis menyambut masa depan.

e.. Kebahagiaan itu diraih dengan menjaga lisan.

f.. Seseorang tidak akan meraih kebahagiaan kecuali jika dia hidup
merdeka, terbebas dari cengkraman syahwatnya serta mampu menahan hawa
nafsunya.

g.. Kesungguhan anda dalam mencintai ketaatan, hati yang selalu anda
hadapkan ke hadirat Allah subhanahu wata'ala, dan kehadiran hati ketika
sedang beribadah merupakan indikasi cepatnya kebahagiaan.

h.. Kebahagiaan itu tidak bisa dibeli dengan harta tetapi ia sering
dijual.

Kenali tandanya ...siapkan diri kita...

Kebahagiaan memiliki tanda-tanda, sebagaimana disebutkan oleh Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menyebutkan tiga perkara yaitu:
1. Jika mendapatkan nikmat, dia bersyukur.
2. Jika mendapatkan ujian, dia bersabar.
3. Jika berbuat dosa, dia beristighfar.

Langkah Menggapai Bahagia

Di antara langkah-langkah yang yang akan mengantarkan kepada
kebahagiaan dan kesuksesan adalah sebagai berikut:

1. Beriman Kepada Allah subhanahu wata'ala

Tidak ada kebahagiaan tanpa iman kepada Allah subhanahu wata'ala,
bahkan kebahagiaan itu akan bertambah seiring dengan bertambahnya iman
seseorang kepada Allah subhanahu wata'ala, dan akan melemah bersamaan dengan
lemahnya iman kepada-Nya. Apabila iman semakin kuat, maka makin besar
pula kabahagiaan. Sebaliknya jika ia melemah, maka kegoncangan dan
pikiran negatif akan bertambah yang dapat membawa kepada pahitnya kehidupan
dan kebinasan.

2. Beriman kepada Kekuasaan Allah subhanahu wata'ala

Orang yang beriman bahwa Allah subhanahu wata'ala itu Maha Kuasa tanpa
batas, maka dia tidak akan dirundung duka, tidak dibuat sedih oleh
berbagai masalah karena dia mempunyai tempat bersandar yang kuat, ketika
sedang ditimpa suatu ujian dan kesulitan.

3. Beriman dengan Ketetapan Allah subhanahu wata'ala

Iman dengan qadha' dan qadar akan menumbuhkan sikap ridha dalam hati,
kelapangan jiwa dan ketenangan. Oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda,
"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh
urusannya adalah baik. Jika ditimpa kelapangan, maka dia bersyukur dan itu
adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan, maka dia bersabar dan
itu pun baik baginya." (HR Muslim)

4. Berteladan kepada Orang yang Sukses

Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang telah memberikan sumbangsih
yang besar dan luar biasa bagi umat manusia dan dia adalah orang yang
beriman kepada Allah subhanahu wata'ala. Yang pertama dan utama adalah
panutan kita Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Dengan
mengikuti jalannya, maka seseorang akan bahagia dan dengan meninggalkan
petunjuk dan sunnahnya, maka seseorang akan celaka.

5. Mengenali Kehidupan

Hidup pasti akan menghadapi masalah, mendapati kesusahan dan pasti ada
rintangan dan ujian. Semua ini merupakan ketetapan dari Allah subhanahu
wata'ala terhadap manusia, supaya diketahui mana orang yang lebih baik
amalnya. Maka wajib bagi kita untuk mengenal karakteristik hidup ini
dan menerima sebagaimana wajarnya dan tidak menutup diri untuk menghadapi
ketentuan Allah dengan ketentuan lainnya, menghadapi yang tidak kita
senangi dengan sesuatu yang dapat menghilangkannya. Mengetahui
permasalahan ini bukan berarti pasrah dan putus asa, tetapi justru bersikap
sebaliknya.

6. Mengubah Kebiasaan Negatif Menjadi Positif

Doktor Ahmad Al-Bara' Al-Amiri mengatakan bahwa memulai kebiasaan baru
yang bersifataqliyah (bisa dinalar dan dipikirkan) itu tidak sulit,
dibutuhkan kira-kira 21 hari. Dalam hari-hari tersebut kita berfikir,
berbincang-bincang, lalu mengusahakan segala yang bisa mendukung untuk
terwujudnya kebiasaan baru itu, dan terakhir kita menggambarkan dengan
jelas dan sempurna bahwa diri kita telah menjadi yang kita inginkan.

Jika kita telah berfikir bahwa kita telah menjadi yang baru sebagaimana
kita kehendaki, maka gambaran ini secara bertahap akan menjadi sebuah
realita. Hal ini seperti diungkapkan bahwa "al hilm bittahallum wal ilm
bitta'allum" sikap lembut dicapai dengan selalu berusaha lembut dan
ilmu itu diraih dengan belajar. (Durus nafsiyah linnajah wattafawwuq)

7. Tujuan Yang Mulia

Banyak orang yang celaka karena dia tidak memiliki sasaran dan tujuan
yang dia usahakan agar terealisasi. Atau dia punya tujuan tetapi bukan
sesuatu yang mulia dan tinggi sehingga dia tidak merasa bahagia tatkala
berusaha menggapainya. Sedangkan tujuan yang mulia, maka akan
menjadi-kan seseorang merasa bahagia ketika sedang berusaha untuk mencapainya.

8. Ringankan Derita

Orang hidup pasti mengalami musibah dan derita, namun tak selayak-nya
musibah itu disikapi sebagai akhir dari segalanya, dan jangan
beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang menda-patkan ujian hidup. Bahkan
selayaknya dia memperingan musibah dan tidak terlalu membesar-besarkannya.

9. Hal Sepele Jangan Dibuat Resah

Ada sebagian orang yang merasa resah dan kalut dengan kejadian-kejadian
biasa dan lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Di antara mereka ada yang
begitu sedih dengan pecahnya piring atau gelas, saluran air atau kabel
yang putus, baju yang robek dan lain-lain yang sebenarnya wajar-wajar
saja.

10. Kebahagiaan Ada Pada Diri Anda

Jika bahagia itu ada pada diri kita, maka mengapa harus jauh-jauh
mencarinya, karena setiap manusia punya kekuatan dan potensi bahagia, tetapi
kebanyakan mereka tidak mau melihatnya. Sebabnya adalah karena dia
tidak pernah memperhatikan diri sendiri, tetapi sibuk melihat orang lain.

Kebahagiaan terkadang ada di depan mata, tetapi kita tidak
menge-tahuinya, sehingga justru mencarinya lagi kepada yang lebih jauh dan semakin
jauh. (Khalif Muttaqin)

Tulisan ini diterjemahkan dari buku: Daliluka Ila As-Sa'adah
An-Nafsiyah, Dept. Ilmiyah Darul Wathan.
afwan bila salah, bila benerrr ya haq dari Alloh.

Hatiku dan Hatimu

Sehati Tak Selalu Sependapat loh...

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya tentang keanekaragaman jama'ah-jama'ah Islamiyah yang tak
jarang di antara mereka saling menerapkan bara' (berlepas diri), dan juga
sikap yang harus diambil ketika terjadi perbedaan pendapat. Beliau
memberikan penjelasan sebagai berikut: ( simak ya...)

Tak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan, saling memvonis sesat,
permusuhan, dan kebenciandan laen sabagainya yang terjadi di kalangan para pemuda yang
komitmen, sebagian terhadap sebagian yang lainnya yang tidak sepaham dengan
manhaj masing-masing, adalah suatu hal yang menyedihkan dan sangat
disayang-kan, bahkan bisa jadi menimbulkan dampak yang serius.

Perpecahan seperti ini ibarat penyejuk mata hati para syaithan dari
bangsa jin dan manusia, sebab mereka tidak menyenangi apabila ahli
kebajikan bersatu. Mereka menginginkan ahli kebajikan tersebut berpecah-belah
karena mereka (para syaithan tersebut) mengetahui bahwa perpecahan akan
meluluhlantakkan kekuatan yang dihasilkan oleh sikap komitmen dan
ketaatan kepada Allah subhanahu wata'ala. Hal ini telah disinyalir oleh
firman-Nya, berikut artinya,

"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu". (Q.S. Al-Anfal: 46).
"Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka".
(Q.S. Ali 'Imran: 105)

...................................................................

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
terhadap mereka". (Q.S. Al-An'am: 159)
.....................................................................

"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya.". (Q.S. Asy-Syuro: 13)

Allah subhanahu wata'ala telah melarang kita berpecah-belah dan
menjelaskan tentang akibatnya yang sangat buruk. Sudah merupakan kewajiban
bagi kita untuk menjadi umat yang bersatu dan satu kata (bersepakat).
Perpecahan hanyalah akan merusak dan meluluhlantakkan urusan serta
mengakibatkan lemahnya umat Islam. Di antara para shahabat pun terjadi
perbedaan pendapat, akan tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan,
permusuhan dan kebencian. Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi pada masa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam.

Sepulang beliau dari perang Ahzab (Khandaq), ketika itu, Jibril datang
dan memerintahkannya agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah
sebab mereka telah membatalkan perjanjian. Beliau lalu bersabda kepada
para shahabatnya, "Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian
melakukan shalat 'Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani
Quraizhah". Mereka pun bergerak dari Madinah menuju perkampungan Bani
Quraizhah, sementara waktu 'Ashar pun sudah tiba, lalu sebagian mereka
berkata, "Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan di perkampungan
Bani Quraizhah meskipun matahari sudah terbenam sebab Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah sekali-kali salah seorang di
antara kalian melakukan shalat 'Ashar melainkan (bila sudah tiba) di
perkampungan Bani Quraizhah", karenanya kita harus mengatakan, "Sami'nâ wa
atha'nâ" (Kami dengar dan kami patuh).

Sebagian mereka yang lain berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bermaksud agar kita bergegas dan bergerak-cepat
keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat". Perihal tersebut
kemudian sampai ke telinga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, namun
beliau tidak mencerca salah seorang pun di antara mereka, tidak pula
mencemooh pemahaman mereka. Jadi, mereka sendiri tidak berpecah-belah hanya
karena berbeda pendapat di dalam memahami hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam.

Demikian juga dengan kita, wajib untuk tidak berpecah-belah dan menjadi
umat yang bersatu. Sedangkan bila yang terjadi justru perpecahan, maka
bahayanya sangat besar. Optimisme yang kita harapkan dan cita-citakan
dari kebangkitan Islam ini akan menjadi sirna, manakala kita mengetahui
bahwa ia hanya akan dimiliki oleh kelompok-kelompok yang
berpecah-belah, satu sama lain saling memvonis sesat dan mencela.

Solusi dari problematika ini adalah hanya dengan meniti jalan yang
telah ditempuh oleh para shahabat, mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang
bersumber dari ijtihad ini adalah dalam taraf masalah yang masih bisa
ditolerir berijtihad di dalamnya dan mengetahui bahwa perbedaan pendapat
ini tidak berpengaruh bahkan ia sebenarnya adalah persepakatan.

Bagaimana bisa demikian? Saya berbeda pendapat dengan anda dalam satu
masalah dari sekian banyak masalah karena indikasi dari dalil yang ada
pada anda berbeda dengan yang ada pada pendapat saya. Realitasnya, kita
bukan berbeda pendapat sebab pendapat kita diambil berdasarkan asumsi
bahwa inilah indikasi dari dalil tersebut. Jadi, indikasi dari dalil itu
ada di depan mata kita semua dan masing-masing kita tidak mengambil
pendapatnya sendiri saja melainkan karena menganggapnya sebagai indikasi
dari dalil. Karenanya, saya berterima kasih dan memuji anda karena anda
telah berani berbeda pendapat dengan saya. Saya adalah saudara dan
teman anda sebab perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari indikasi dari
dalil yang menurut anda, sehingga wajib bagi saya untuk tidak menyimpan
sesuatu ganjalan pun di hati saya terhadap anda bahkan saya memuji anda
atas pendapat anda tersebut, demikian juga halnya dengan anda.
Andaikata masing-masing kita memaksakan pendapatnya untuk diambil pihak lain,
niscaya pemaksaan yang saya lakukan terhadapnya agar mengambil pendapat
saya tersebut, tidak lebih utama dari sikap pemaksaan yang sama yang
dilakukannya terhadap saya.

Oleh karena itu, saya tegaskan: Wajib bagi kita menjadikan perbedaan
pendapat yang dibangun atas suatu ijtihad bukan sebagai perpecahan,
tetapi persepakatan sehingga terjadi titik temu dan kebaikan dapat diraih.

Akan tetapi, bila ada yang berkata, "Bisa jadi solusi seperti ini tidak
mudah direalisasikan oleh kalangan orang awam, lalu apa solusi
lainnya?".

Solusinya, hendaknya para pemimpin kaum dan pemukanya yang meliputi
semua pihak berkumpul untuk mengadakan tela'ah dan kajian terhadap
beberapa permasalahan yang diper-selisihkan di antara kita, sehingga kita bisa
bersatu dan berpadu hati.

Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya
dan sebagian saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh
bagi anda. Ada dua pihak dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan
3-4 orang laki-laki, masing-masing saling menuduh kafir dan melaknat,
padahal mereka sedang melaksanakan haji. Ceritanya begini; salah satu
pihak menyatakan, "Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk
melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri
pada posisi atas dada." Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana
sunnahnya menurut pihak ini mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha.
Sementara pihak yang lain mengatakan, "Sesungguhnya mengulur tangan ke
bawah, di atas kedua paha dengan tidak meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan laknatan."
Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari
Allah subhanahu wata'ala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu
dibarengi dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di
antara umat Islam, mereka pun mau pergi dari tempat itu dan masing-masing
mereka akhirnya saling ridla.

Lihatlah, betapa syaithan telah mempermainkan mereka di dalam masalah
yang mereka perselisihkan ini sampai kepada taraf saling mengafirkan
satu sama lainnya. Padahal sebenarnya ia hanyalah salah satu amalan
sunnah, bukan termasuk rukun Islam, bukan juga fardlu atau wajibnya. Inti
dari permasalahan itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
meletakkan tangan di atas tangan kiri pada posisi di atas dada adalah sunnah
hukumnya, sementara ulama yang lain menyatakan bahwa sunnahnya adalah
mengulur tangan ke bawah. Padahal pendapat yang tepat dan didukung oleh
as-Sunnah (hadits) adalah meletakkan tangan kanan di atas pergelangan
tangan kiri sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari
Sahl bin Sa'd radhiyallau 'anhu, dia berkata, "Dulu orang-orang
diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas pergelangan
tangan kirinya di dalam shalat".

Saya memohon kepada Allah subhanahu wata'ala agar menganugerahkan
perpaduan hati, kecintaan dan kelurusan hati kepada saudara-saudara kami
yang memiliki manhaj tersendiri di dalam sarana berdakwah. Bila niat sudah
betul, maka akan mudahlah solusinya. Sedangkan bila niat belum betul
dan masing-masing di antara mereka berbangga diri terhadap pendapatnya
serta tidak menghiraukan pendapat yang lainnya, maka semakin jauhlah
upaya mencapai kesuksesan .

Catatan saya: Bila perbedaan pendapat itu terjadi pada masalah-masalah
'aqidah, maka hal itu wajib dibetulkan. Pendapat apa saja yang berbeda
dengan madzhab Salaf, wajib diingkari dan diberikan peringatan terhadap
orang yang meniti jalan yang menyelisihi madzhab salaf tersebut pada
sisi ini.

Sumber: Fatâwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn, Dâr 'Alam
al-Kutub, Riyadh 1991, Cet. I, juz. II, hal. 939-944, dengan meringkas.

wallahu a'lam......

so...what are you doing latter...?