April 12, 2007

Hatiku dan Hatimu

Sehati Tak Selalu Sependapat loh...

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya tentang keanekaragaman jama'ah-jama'ah Islamiyah yang tak
jarang di antara mereka saling menerapkan bara' (berlepas diri), dan juga
sikap yang harus diambil ketika terjadi perbedaan pendapat. Beliau
memberikan penjelasan sebagai berikut: ( simak ya...)

Tak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan, saling memvonis sesat,
permusuhan, dan kebenciandan laen sabagainya yang terjadi di kalangan para pemuda yang
komitmen, sebagian terhadap sebagian yang lainnya yang tidak sepaham dengan
manhaj masing-masing, adalah suatu hal yang menyedihkan dan sangat
disayang-kan, bahkan bisa jadi menimbulkan dampak yang serius.

Perpecahan seperti ini ibarat penyejuk mata hati para syaithan dari
bangsa jin dan manusia, sebab mereka tidak menyenangi apabila ahli
kebajikan bersatu. Mereka menginginkan ahli kebajikan tersebut berpecah-belah
karena mereka (para syaithan tersebut) mengetahui bahwa perpecahan akan
meluluhlantakkan kekuatan yang dihasilkan oleh sikap komitmen dan
ketaatan kepada Allah subhanahu wata'ala. Hal ini telah disinyalir oleh
firman-Nya, berikut artinya,

"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu". (Q.S. Al-Anfal: 46).
"Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka".
(Q.S. Ali 'Imran: 105)

...................................................................

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
terhadap mereka". (Q.S. Al-An'am: 159)
.....................................................................

"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya.". (Q.S. Asy-Syuro: 13)

Allah subhanahu wata'ala telah melarang kita berpecah-belah dan
menjelaskan tentang akibatnya yang sangat buruk. Sudah merupakan kewajiban
bagi kita untuk menjadi umat yang bersatu dan satu kata (bersepakat).
Perpecahan hanyalah akan merusak dan meluluhlantakkan urusan serta
mengakibatkan lemahnya umat Islam. Di antara para shahabat pun terjadi
perbedaan pendapat, akan tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan,
permusuhan dan kebencian. Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi pada masa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam.

Sepulang beliau dari perang Ahzab (Khandaq), ketika itu, Jibril datang
dan memerintahkannya agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah
sebab mereka telah membatalkan perjanjian. Beliau lalu bersabda kepada
para shahabatnya, "Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian
melakukan shalat 'Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani
Quraizhah". Mereka pun bergerak dari Madinah menuju perkampungan Bani
Quraizhah, sementara waktu 'Ashar pun sudah tiba, lalu sebagian mereka
berkata, "Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan di perkampungan
Bani Quraizhah meskipun matahari sudah terbenam sebab Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah sekali-kali salah seorang di
antara kalian melakukan shalat 'Ashar melainkan (bila sudah tiba) di
perkampungan Bani Quraizhah", karenanya kita harus mengatakan, "Sami'nâ wa
atha'nâ" (Kami dengar dan kami patuh).

Sebagian mereka yang lain berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bermaksud agar kita bergegas dan bergerak-cepat
keluar, dan bukan bermaksud agar mengakhirkan shalat". Perihal tersebut
kemudian sampai ke telinga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, namun
beliau tidak mencerca salah seorang pun di antara mereka, tidak pula
mencemooh pemahaman mereka. Jadi, mereka sendiri tidak berpecah-belah hanya
karena berbeda pendapat di dalam memahami hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam.

Demikian juga dengan kita, wajib untuk tidak berpecah-belah dan menjadi
umat yang bersatu. Sedangkan bila yang terjadi justru perpecahan, maka
bahayanya sangat besar. Optimisme yang kita harapkan dan cita-citakan
dari kebangkitan Islam ini akan menjadi sirna, manakala kita mengetahui
bahwa ia hanya akan dimiliki oleh kelompok-kelompok yang
berpecah-belah, satu sama lain saling memvonis sesat dan mencela.

Solusi dari problematika ini adalah hanya dengan meniti jalan yang
telah ditempuh oleh para shahabat, mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang
bersumber dari ijtihad ini adalah dalam taraf masalah yang masih bisa
ditolerir berijtihad di dalamnya dan mengetahui bahwa perbedaan pendapat
ini tidak berpengaruh bahkan ia sebenarnya adalah persepakatan.

Bagaimana bisa demikian? Saya berbeda pendapat dengan anda dalam satu
masalah dari sekian banyak masalah karena indikasi dari dalil yang ada
pada anda berbeda dengan yang ada pada pendapat saya. Realitasnya, kita
bukan berbeda pendapat sebab pendapat kita diambil berdasarkan asumsi
bahwa inilah indikasi dari dalil tersebut. Jadi, indikasi dari dalil itu
ada di depan mata kita semua dan masing-masing kita tidak mengambil
pendapatnya sendiri saja melainkan karena menganggapnya sebagai indikasi
dari dalil. Karenanya, saya berterima kasih dan memuji anda karena anda
telah berani berbeda pendapat dengan saya. Saya adalah saudara dan
teman anda sebab perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari indikasi dari
dalil yang menurut anda, sehingga wajib bagi saya untuk tidak menyimpan
sesuatu ganjalan pun di hati saya terhadap anda bahkan saya memuji anda
atas pendapat anda tersebut, demikian juga halnya dengan anda.
Andaikata masing-masing kita memaksakan pendapatnya untuk diambil pihak lain,
niscaya pemaksaan yang saya lakukan terhadapnya agar mengambil pendapat
saya tersebut, tidak lebih utama dari sikap pemaksaan yang sama yang
dilakukannya terhadap saya.

Oleh karena itu, saya tegaskan: Wajib bagi kita menjadikan perbedaan
pendapat yang dibangun atas suatu ijtihad bukan sebagai perpecahan,
tetapi persepakatan sehingga terjadi titik temu dan kebaikan dapat diraih.

Akan tetapi, bila ada yang berkata, "Bisa jadi solusi seperti ini tidak
mudah direalisasikan oleh kalangan orang awam, lalu apa solusi
lainnya?".

Solusinya, hendaknya para pemimpin kaum dan pemukanya yang meliputi
semua pihak berkumpul untuk mengadakan tela'ah dan kajian terhadap
beberapa permasalahan yang diper-selisihkan di antara kita, sehingga kita bisa
bersatu dan berpadu hati.

Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya
dan sebagian saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh
bagi anda. Ada dua pihak dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan
3-4 orang laki-laki, masing-masing saling menuduh kafir dan melaknat,
padahal mereka sedang melaksanakan haji. Ceritanya begini; salah satu
pihak menyatakan, "Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk
melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri
pada posisi atas dada." Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana
sunnahnya menurut pihak ini mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha.
Sementara pihak yang lain mengatakan, "Sesungguhnya mengulur tangan ke
bawah, di atas kedua paha dengan tidak meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan laknatan."
Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari
Allah subhanahu wata'ala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu
dibarengi dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di
antara umat Islam, mereka pun mau pergi dari tempat itu dan masing-masing
mereka akhirnya saling ridla.

Lihatlah, betapa syaithan telah mempermainkan mereka di dalam masalah
yang mereka perselisihkan ini sampai kepada taraf saling mengafirkan
satu sama lainnya. Padahal sebenarnya ia hanyalah salah satu amalan
sunnah, bukan termasuk rukun Islam, bukan juga fardlu atau wajibnya. Inti
dari permasalahan itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
meletakkan tangan di atas tangan kiri pada posisi di atas dada adalah sunnah
hukumnya, sementara ulama yang lain menyatakan bahwa sunnahnya adalah
mengulur tangan ke bawah. Padahal pendapat yang tepat dan didukung oleh
as-Sunnah (hadits) adalah meletakkan tangan kanan di atas pergelangan
tangan kiri sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari
Sahl bin Sa'd radhiyallau 'anhu, dia berkata, "Dulu orang-orang
diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas pergelangan
tangan kirinya di dalam shalat".

Saya memohon kepada Allah subhanahu wata'ala agar menganugerahkan
perpaduan hati, kecintaan dan kelurusan hati kepada saudara-saudara kami
yang memiliki manhaj tersendiri di dalam sarana berdakwah. Bila niat sudah
betul, maka akan mudahlah solusinya. Sedangkan bila niat belum betul
dan masing-masing di antara mereka berbangga diri terhadap pendapatnya
serta tidak menghiraukan pendapat yang lainnya, maka semakin jauhlah
upaya mencapai kesuksesan .

Catatan saya: Bila perbedaan pendapat itu terjadi pada masalah-masalah
'aqidah, maka hal itu wajib dibetulkan. Pendapat apa saja yang berbeda
dengan madzhab Salaf, wajib diingkari dan diberikan peringatan terhadap
orang yang meniti jalan yang menyelisihi madzhab salaf tersebut pada
sisi ini.

Sumber: Fatâwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn, Dâr 'Alam
al-Kutub, Riyadh 1991, Cet. I, juz. II, hal. 939-944, dengan meringkas.

wallahu a'lam......

so...what are you doing latter...?

No comments: