Ihdinashshiraatal mustaqim, "Ya Allah
tunjukkanlah kami jalan yang
lurus", demikian kita -kaum muslimin-
mengucapkan doa ini, paling tidak 17
kali dalam sehari. Ada apakah di balik
permohonan ini? bukankah jalan
yang lurus sudah jelas bagi kita, yakni
agama Islam, dan kita semua
alhamdulillah sudah menjadi seorang muslim?
Do،¦a tersebut ternyata
mengandung makna yang sangat mendalam, dan
hampir mirip dengan doa qunut
yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Seringkali
kita mendengar lafazh do'a qunut (misalnya
qunut Ramadhan atau qunut
nazilah, red) yang biasa dibaca oleh imam-imam
kita di dalam shalatnya.
Di antara permohonan dalam donya tersebut
adalah, "Allahummahdinaa
fiiman hadait" artinya, "Ya Allah berilah
kami petunjuk sebagaimana orang
yang telah Engkau beri petunjuk."
Berikut penjelasan asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah berkenaan dengan doanya
tersebut, semoga bermanfaat.
Kalimat "Berilah kami petunjuk" yang
terlampir pada cuplikan do'a di
atas mengandung makna yang sangat luas.
Donya tersebut bukan hanya
permohonan petunjuk saja, tetapi juga
permohonan agar mampu untuk
melaksanakan petunjuk tersebut. Makna
do'a itu adalah sebagai berikut,
"Tunjukkanlah kami ya Allah kepada
kebenaran dan mudahkanlah bagi kami untuk
menjalankan kebenaran itu." Petunjuk yang
sempurna lagi bermanfaat adalah
petunjuk yang Allah subhanahu wata'ala
memadukan di dalamnya antara
ilmu dan amal.
Suatu petunjuk yang tidak diiringi
dengan amal/perbuatan, maka akan
sia-sia, bahkan menyesatkan.
Karena setiap orang yang tidak mengamalkan
ilmu yang telah ia miliki, maka
ilmunya itu justru akan berbalik menjadi
bencana bagi dirinya sendiri.
Sebagai misal tentang petunjuk
berupa ilmu pengetahuan yang tidak
dibarengi dengan amal perbuatan adalah
seperti yang difirmankan Allah
subhanahu wata،¦ala, yang artinya,
"Dan adapun kaum Tsamud maka
mereka telah Kami beri petunjuk tetapi
mereka lebih menyukai buta
(kesesatan) daripada petunjuk itu". (QS.
Fushilat:17)
Dari ayat tersebut di atas
"Mereka telah Kami beri petunjuk"
mengandung
maksud bahwa Allah subhanahu wata'ala
telah memberi penerangan bagi
mereka akan suatu jalan dan telah Ia
karuniakan bagi mereka itu ilmu
pengetahuan, akan tetapi mereka berbuat
yang sebaliknya yaitu seperti
yang termuat pada kalimat berikutnya,
yang artinya, "Tetapi mereka lebih
menyukai buta (kesesatan) daripada
petunjuk itu".
Adapun petunjuk yang berupa ilmu
dan penerangan guna menggapai
kebenaran adalah seperti yang telah
dicontohkan di dalam firman Allah subhanahu
wata،¦ala yang ditujukan kepada
Nabi-Nya shallallahu 'alaihi
wasallam, artinya, "Dan sesungguhnya
kamu benar-benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus". (QS. Asy-Syuuraa: 52)
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk" pada rentetan kata
ayat di atas memiliki penjabaran
makna sebagai berikut, "Kamu (wahai
Muhammad) memberi petunjuk, penerangan,
dan pengajaran kepada manusia
menuju jalan yang lurus.
Sedangkan contoh dari petunjuk
yang bermakna taufiq adalah yang biasa
diucapkan oleh orang-orang yang
sedang melaksanakan shalat, artinya,
"Tunjukilah kami jalan yang
lurus". (QS. Al-Fatihah:6)
Maka di saat anda mengucapkan,
"Tunjukilah kami jalan yang lurus", maka
apakah anda memohon kepada Allah
subhanahu wata،¦ala suatu karunia
ilmu tanpa amal ? Ataukah mungkin
sebaliknya suatu amalan tanpa
didasari
oleh ilmu ? Atau mungkin yang
ketiga ini yaitu karunia ilmu
berserta
amal ? Pendek kata hendaklah
bagi setiap insan jika ia
memohon kepada
Allah subhanahu wata،¦ala,
"Tunjukilah kami jalan yang lurus", agar ia
menghadirkan jiwanya bahwa ia sedang
meminta kepada Allah subhanahu
wata،¦alaƒnkarunia ilmu dan
amal/perbuatan, maka ilmu itulah
yang
bertindak sebagai petunjuk, sedang
amal/perbuatan itulah yang dimaksudkan
sebagai taufiq.
Hal inilah -menurut sepengatahuan
saya, dan keilmuan tentang itu adalah
berada di sisi Allah subhanahu wata'ala-
yang masih jauh dari
jangkauan kebanyakan kaum muslimin di
kala mereka mengucapkan,
"Ihdinashshiraatal mustaqim (Ya Allah
Tunjukilah kami jalan yang lurus)".
Sehingga di sini dapat dikatakan bahwa
firman-Nya yang berbunyi,
artinya, "Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan
yang lurus" yang ditujukan kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ini merupakan petunjuk berupa
penerangan dan penjelasan saja, adapun
firman-Nya yang artinya, "Sesungguh nya
kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." (QS. Al-Qashash: 56), maka arti
dari petunjuk pada ayat ini adalah
petunjuk taufiq berupa amal
perbuatan.
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tidak bisa memberi
petunjuk taufiq kepada seseorang
guna melakukan amal shalih selamanya. Jika
memang Beliau mampu, niscaya Beliau
akan dapat memberi petunjuk kepada
paman beliau Abu Thalib, yang mana
Beliau telah mengusahakannya sampai
Beliau bersabda kepada pamannya itu
di saat-saat menjelang kematiannya,
"Wahai paman, katakan Laa Ilaaha
Illallah suatu kalimat yang aku akan
berhujjah bagimu dengan kalimat
itu di sisi Allah.،¨
Namun apa boleh buat apabila
telah mendahuluinya suatu kalimat atau
ketetapan dari Allah subhanahu wata'ala,
bahwa ia merupakan penghuni
neraka -kami berlindung kepada Allah
dari adzab api neraka- maka ia pun
tidak mengucapkan untaian kalimat
syahadatain bahkan pernyataan akhirnya
mengindikasikan bahwa ia masih
memeluk agama Abdul Muthalib (bapaknya).
Meskipun begitu yang terjadi, tapi
Allah subhanahu wata'ala
mengizinkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam untuk memberikan syafaat
bagi pamannya itu bukan lantaran ia
adalah masih pamannya sendiri,
namun tiada lain karena ia telah
bertindak melindungi Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan Agama Islam, maka
beliau pun telah memberi
syafaat di dalam adzab. Adapun ia
(Abu Thalib) berada di dalam bara api
neraka dan ia di atas dua alas kaki,
sedang otaknya mendidih karena panas
keduanya, dan sesungguhnya dia ahli
neraka yang mendapatkan
seringan-ringan adzab. Rasulullah
shallallahu ،¥alaihi wasallam
bersabda,
"Kalaupun bukan karena aku (syafa'at
beliau, red), maka niscaya ia berada di
dalam kerak api neraka". (HR. al-Bukhari
dalam Kitab Manaqibul Anshar,
bab qishshatu Abi Thalib, Fath al-Baari 7/193.
Dan Muslim dalam Kitabul
Iman)
Saya berpendapat, bahwa apabila kita
ucapkan di dalam do'a qunut, "Ya
Allah berilah kami petunjuk sebagaimana
orang yang telah Engkau beri
petunjuk." Maka pada hakikatnya kita
meminta dua macam petunjuk yaitu
petunjuk berupa ilmu dan petunjuk berupa amal/perbuatan.
Adapun ungkapan, "Sebagaimana mereka
yang telah Engkau beri petunjuk",
maka apa maksud dari ungkapan ini?
Padahal kalau mau menyingkatnya
dengan, "Ya Allah berilah petunjuk
kepada kami" sudah tersirat maksud dari
permohonan do'a itu, namun mengapa
harus disertai "sebagaimana orang
yang telah Engkau beri petunjuk",
yaitu agar kalimat itu menjadi bagian
dari "tawassul"(perantara) untuk
mendapatkan kenikmatan-kenikmatan yang
Allah subhanahu wata،¦ala berikan kepada
mereka yang telah memperoleh
petunjuk-Nya agar Ia melimpahkannya
juga kepada kita melalui petunjuk
tersebut.
Dengan arti lain sesungguhnya kami
memohon kepada-Mu ya Allah suatu
petunjuk karena itu merupakan
sebesar-besar rahmat, kebijaksanaan, serta
keutamaan-Mu, maka sesungguhnya
Engkau yang telah memberikan petunjuk
kepada seluruh insan, maka
berilah petunjuk kepada kami sebagaimana
mereka yang telah Engkau beri
petunjuk. (Sampai di sini penjelasan Syaikh
al-Utsaimin)
Oleh karena itu seorang muslim
tidak akan pernah merasa bosan untuk
selalu minta hidayah (petunjuk)
kepada Allah subhanahu wata'ala,
baik
petunjuk berupa ilmu (hidayah irsyad)
dan petunjuk untuk melaksanakan
ilmu tersebut (hidayah taufiq).
Sebab kalau kita bertanya pada diri kita,
"Apakah kita mengetahui seluruh ilmu
dan kebaikan tanpa kecuali, maka
tentu dengan jujur kita akan menjawab
tidak, apalagi kalau ditanya
apakah kita sudah megerjakan seluruh
ilmu dan kebaikan tersebut tanpa
kecuali? Begitu juga kalau kita
tanyakan apakah kita mengetahui seluruh
keburukan tanpa kecuali tentu kita
akan menjawab tidak, dan lebih-lebih
kalau ditanya apakah kita mampu
menjauhi seluruh keburukan tersebut tanpa
kecuali, maka kita semua akan berkata tidak.
(Sumber: Duruus Wal Fatawa
Al Haram Al Makky, jilid 1, edisi terjemah
"Syarah Doa Qunut", Pustaka Islam Tadabbur)
May 12, 2007
|+ Tak Bosan dengan iIdayah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment